Di 5 Lokasi di Jakarta ini, Rumah Ibadah Berbeda Agama Damai Berdampingan

Di Jakarta, cukup banyak didapati rumah rumah ibadah antar agama yang letaknya berhadapan, berdekatan atau bahkan berbagi tembok dan dinding yang sama, sebagai bukti kerukunan antar penganut agama sejak dahulu di kawasan tersebut.  Ada Mesjid berdampingan dengan Gereja, Wihara/Klenteng bersebelahan dengan Kuil Hindu India, atau bahkan ada Klenteng / Wihara  dan Mesjid yang disebut sebagai “saudara” karena punya hubungan yang begitu erat. 

Berikut ini 5 Lokasi di Jakarta yang memilki rumah ibadah berbeda agama, yang paling menarik versi Creative Traveler, dimana sajakah itu ? 

1.    Mesjid Istiqlal – Gereja Katedral , Gambir



(foto : sewarga.com)

Mesjid Istiqlal resmi berdiri sejak tahun 1978, sementara Gereja Katedral sudah ada sejak abad 19 di zaman penjajahan Belanda. Saat Mesjid Istiqlal akan dibangun, awalnya diusulkan lokasinya di kawasan Thamrin yang saat itu masih banyak lahan kosong yang luas. Tapi akhirnya panitia pembangunan Mesjid Istiqlal memutuskan lokasi Mesjid Istiqlal yang akan menjadi Mesjid Nasional, dibangun di Taman Wilhelmina Park   yang berhadapan dengan Gereja Katedral, salah satu alasannya sebagai simbol keharmonisan umat beragama di Indonesia.

Jadi sejak awal, pemilihan lokasi Mesjid Istiqlal yang berhadapan dengan Gereja Katedral memang direncanakan sebagai simbol toleransi beragama. Dan bukan sekedar simbol belaka, tapi juga diwujudkan  dalam praktek keseharian. Contoh kecilnya adalah saling membantu dalam penggunaan lahan parkir atau penyesuaian waktu perayaan ibadah.  

Saat perayaan Natal di tahun 2015 yang jatuh di hari Jumat, pihak Mesjid Istiqlal menyediakan lahan parkir khusus untuk umat Katolik yang akan merayakan misa natal, walaupun di hari Jumat biasanya lahan parkir  Istiqlal penuh dengan pengunjung yang akan beribadah Sholat Jumat. Begitupun saat perayaan Hari Idul Fitri tahun ini yang jatuh di hari Minggu, pihak Katedral akan merubah waktu misa hari Mingu menjadi jam 12 siang.
                                           (foto : Detik.com)

Sejarah pembangunan Istiqlal dan Katedral juga menunjukkan wujud toleransi. Istiqlal dirancang oleh Fredreich Silaban, seorang Arsitek beragama Kristen Protestan yang memenangkan lomba desain Istiqlal. Sedangkan Katedral dirancang oleh tiga bangsa. Arsiteknya adalah orang Belanda (Pastor Antonius Dijkman),  sedangkan mandor dan kepala proyeknya adalah orang orang keturunan Tionghoa, dan para kuli bangunannya adalah para pribumi. 


                     (Silaban sedang merancang , foto silaban.net)

Setiap kali membawa Tur untuk wisatawan mancanegara ke Mesjid Istiqlal/ Gereja Katedral,saya selalu bercerita tentang wujud toleransi dari kedua rumah ibadah ini, dari mulai para arsiteknya, hingga juga latar belakang lokasi keduanya yang berdekatan.  Dan cerita tentang wujudu toleransi pada Istiqlal dan Katedral ini sering membuat tamu tamu saya berdecak kagum.  Jika kita berada di  Katedral, di waktu waktu tertentu, kita bisa mendengar suara panggilan azan di kejauhan berbarengan dengan bunyi suara lonceng dari gereja. Sungguh denting harmoni yang terdengar sangat indah.

2.    Mesjid Al Muqarrabien– Gereja Manahaim, Tanjung Priok
   Mesjid Al Muqarrabien dan Gereja Manahaim terletak di Jl. Enggano, Tanjung Priok Jakarta Utara. Gereja Protestan Manahaim berdiri sejak 1957, sedangkan Mesjid Al Muqarrabien berdiri dua tahun setelahnya. Keberadaan kedua rumah ibadah yang terletak persis di depan gerbang pelabuhan Tanjung Priok begitu mencolok karena letaknya yang bersisian dan berbagi tembok dan dinding yang sama. 


Mesjid Al Muqarrabien dan Gereja Manaheim ini dekat dengan tempat tinggal saya di Tg. Priok. Tapi karena sering saya lewati sejak kecil, keberadaan dua rumah ibadah yang bersisian ini tidak istimewa bagi saya. Hingga suatu hari, saya bersama seorang kawan ekspatriat asal Filipina sedang berkunjung ke Pelabuhan Tg. Priok dan saat melintas di depan rumah ibadah ini, kawan saya tersebut terlihat takjub dan meminta turun sebentar dari mobil karena ingin memotret kedua rumah ibadah tersebut dari sebrang jalan. Dari situlah saya tersadar bahwa keberadaan kedua rumah ibadah berbeda agama ini pun sangat menarik bagi orang asing.

Menurut  pengurus gereja dan masjid disana, umat kedua rumah ibadah tidak pernah menemui masalah. Apabila ada acara keagamaan, seperti bulan suci Ramadan, Lebaran, atau Natal,  para pengurus Mesjid dan Gereja saling mendukung, bahkan mengadakan acara bersama untuk menghormati ibadah pemeluk agama yang lain. Contohnya di bulan Ramadhan, pihak gereja Manahaim menggelar buka puasa denga menyediakan takjil.

Saat Lebaran pun, pihak gereja turut membantu mempersiapkan untuk shalat Idul Fitri. Termasuk, jika shalat Ied bertepatan pada Minggu, pengurus gereja bersedia mengalah dengan cara meniadakan acara mereka. Sementara apabila pihak gereja menggelar ibadah, maka pihak pengurus masjid mempersilakan lahan parkirnya digunakan jemaat gereja. Selama puluhan tahun umat dari kedua rumah ibadah tersebut hidup damai berdampingan, sungguh indahnya.

3.    Wihara Satrya Dharma – Mesjid Jami Nurul Falah, Teluk Gong



Wihara Satrya Dharma dan Mesjid Jami Nurul Falah terletak di Jl Teluk Gong Raya no. 1, Penjaringan. Wihara Satrya Dharma sudah berdiri sejak tahun 60an, dan merupakan wihara terbesar di Jakarta saat ini, dengan luas luas sekitar 6000 m2. Sedangkan Mesjid Jami Nurul Falah yang terletak bersebelahan dengan Wihara,  baru dibangun di tahun 90an, dan pembangunannya banyak dibantu oleh pihak Wihara hingga kedua rumah ibadah disebut sebagai “Saudara”. 



Keberadaan Wihara Dharma Satya ini berawal dari seorang bermarga Kwee (Kho) yang mendapat wahyu untuk membangun sebuah kelenteng di tengah sawah. Berkat bantuan donatur, ia berhasil membangun sebuah kelenteng Kwee Goan Say yang merupakan bangunan tertua di komplek Wihara. 

Pada masa Orde Baru ada kebijakan pembatasan budaya China. Oleh karena itu,  Kelenteng dijadikan satu dengan  Wihara. Padahal, ada perbedaan mendasar antara  Kelenteng dengan Wihara. Kelenteng merupakan tempat peribadatan umat Konghucu atau Tao, sedangkan Wihara merupakan tempat ibadah umat Buddha.Tapi di zaman Orde Baru, agama Konghucu tidak diakui sebagai agama resmi, hingga penganut Konghucu harus melebur ke dalam agama Budha. 
  
Wihara Satrya Dharma dan Mesjid Nurul Falah disebut sebagai “besaudara”, karena pembangunan Masjid dibantu oleh pihak Wihara. Begitupun ketika Masjid Nurul Falah mengalami kebakaran beberapa tahun lalu, biaya perbaikan sepenuhnya ditanggung pihak Wihara. Bantuan ini juga merupakan bentuk balas budi pihak Wihara terhadap pengurus dan jemaah masjid karena ketika meletus kerusuhan Mei 1998, para pengurus dan jamaah mesjid berjaga di depan wihara. Warga sekitar  beramai ramai berjaga dan mengusir massa yang hendak merusak wihara.  Sungguh bentuk toleransi antar beragama yang tidak sekedar basi basi, tapi benar benar diwujudkan dalam aksi nyata.

4.    Pura Aditya Jaya – Mesjid Al Taqwa, Rawamangun



Pura Aditya Jaya dan Mesjid ‘Al Taqwa terletak di Jl. Daksinapati Raya, Rawamangun. . Pura Aditya Jaya berornamen Bali ini berdiri sejak tahun 1973 dan  merupakan Pura terbesar dan pertama yang didirikan di Jakarta. Setiap kali ada perayaan besar umat Hindu seperti Nyepi atau Galungan, Pura ini menjadi pusat berkumpulnya umat Hindu dari berbagai penjuru Jakarta. Sedangkan Mesjid Al Taqwa yang bersebelahan dengan Pura, dikenal sebagai Mesjid Kampus UNJ (Universitas Negri Jakarta)


                                        (foto  foto : Detik.com)

Cerita tentang keberadaan Pura di Jakarta juga menarik. Sampai tahun 50an Jakarta tidak punya rumah ibadah untuk umat Hindu. Karena itu, bersamaan dengan ide pembangunan Mesjid Istiqlal, Presiden Soekarno menggagas berdirinya Pura yang awalnya direncanakan dibangun di daerah Lapangan Banteng, berdekatan dengan Gereja Katedral. Namun karena keterbasan dana, rencana itupun terbengkalai, bahkan hingga berganti Presiden. 

Di tahun 60an saat Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI, ia mencetuskan ide untuk dibangunnya sebuah Pura pertama di Jakarta yang saat itu direncanakan di bangun di kawasan Senayan. Tapi lagi lagi rencana itu terbengkalai juga karena faktor kekurangan dana. Lalu setelah beberapa kali rencana pembangunan Pura di beberapa lokasi dari mulai Jl. Gatot Subroto, hingga Jl. MT Haryono juga gagal, akhirnya salah satu pemuka agama Hindu saat itu meminta izin untuk memakai lahan luas milik Departemen Pekerjaan Umum, yang disetujui dan lalu dihibahkan untuk lokasi pembangunan Pura pertama di Jakarta. Saat peresmian Pura ini, dihadiri langsung oleh Wakil Gubernur Jakarta Wiyogo Atmodarminto.

Berada di kawasan Pura ini kita seperti merasa seperti berada di Bali dengan sekitar Pura yang dipenuhi pepohonan besar yang rindang. Sebagai pusat agama hindu di tengah gemerlap kota DKI Jakarta, keberadaan Pura Aditya Jaya yang bersisian degan Masjid Al-Taqwa adalah wujud kerukunan umat beragama. Warga sekitar yang mayoritas Muslim juga mengaku selama ini tidak  pernah ada masalah selama dalam menggunakan kedua rumah ibadah itu. Menurut salah satu Pemangku Pura, selama ini selalu ada kerjasama yang baik antar pengurus Pura dan Mesjid. Seperti saat Nyepi lahan parkir Mesjid dipakai untuk pengunjung Pura, begitupun sebaliknya saat ibadah Jumatan. Memang seperti itulah semestinya toleransi diwujudkan.

5.    Wihara Satya Dharma – Kuil Shiva Mandir, Pluit

Wihara Satya Dharma dan Kuil Shiva Mandir terletak di Jl. Pluit Barat Raya. Kuil Shiva Mandir, adalah Kuil Hindu India terbesar di Jakarta yang berdiri sejak awal tahun 2000a sedangkan Wihara Satya Dharma sudah jauh lebih dulu berdiri. Walaupun merupakan rumah ibadah umat Hindu, namun penampakan Kuil Shiva Mandiri sama sekali berbeda dengan Pura, rumah ibadah Hindu yang banyak dijumpai di Indonesia.  Budaya agama Hindu di Indonesia memang cukup unik, dan banyak perbedaan dengan budaya agama Hindu India, termasuk dalam penampakan rumah ibadahnya .

Kalau kita ingin melihat seperti apa rumah ibadah Hindu India, kita bisa datang ke Kuil Shiva Mandir ini.  Penampakan Kuil Hindu yang serupa dengan Kuil Shiva Mandir ini, banyak dijumpai juga jika kita berkunjung ke negara Singapura atau Malaysia yang banyak dihiasi oleh berbagai patung dewa seperti Krisna dan Shiwa..Umat Kuil Shiva Mandir ini memang kebanyakan adalah orang orang Jakarta keturunan India. Bukan itu saja, ternyata pengunjung Kuil Shiva Mandir ini juga banyak berasal dari kaum ekspatriat keturunan India.



Sebenarnya, di kawasan Pasar Baru dan Sunter, Jakarta Utara, juga terdapat beberapa kuil Hindu India. Tapi Kuil Shiva Mandir memiliki bangunan paling besar dan memiliki patung patung dewa yang paling lengkap, hingga banyak orang Hindu India berbondong bondong ke Kuil ini, terutama jika ada perayaan besar

Beberapa bulan lalu, bertepatan dengan perayaan Hari Raya Imlek, saya datang ke Kuil Shiva Mandir ini saat ada perayaan Nawagram, karena diajak oleh kawan saya, Sri Ratika, seorang penganut Hindu India. Nawagram adalah Perayaan Besar awal tahun di Kuil Shiva mandir ini untuk mendoakan keselamatan kesembilan planet (Nawa = Sembilan, Gram = Planet). Upacara Nawagram ini sendiri sangat unik, silakan baca pengalaman saya mengikuti perayaan Nawagram disini. Yang lebih unik lagi, saat mengikuti perayaan Nawagram itu saya melihat beberapa pengunjung berwajah Tionghoa. Ketika saya ajak mengobrol, baru saya tahu bahwa mereka datang ke Kuil tersebut setelah berdoa di Wihara sebelahnya. Menurut mereka, ajaran Konghucu dan Hindu India memiliki banyak kesamaan karena menyembah banyak dewa dewa, karena itu mereka terlihat khidmat saat mengikuti ritual perayaan Nawagram. 

Setelah melihat perayaan Nawagram, saya menyempatkan mengunjugi Wihara Satya Dharma di sebelahnya dan melihat para umat rumah ibadah tersebut sedang melepas burung burung sebagai bagian dari ritual mendatangkan karma baik. Saya sempat mengobrol dengan beberapa ibu ibu pengurus Wihara yang ternyata beragama Muslim dan sudah puluhan tahun bekerja disana, dan setiap perayaan hari besar Imlek, para pengurus Wihara ikut bersuka cita karena di hari itu biasanya mereka akan mendapatkan banyak hadiah uang dari para pengunjung yang datang untuk beribadah. 



Selain di 5 lokasi tersebut, masih banyak lagi rumah rumah ibadah antar agama yang letaknya berdekatan di Jakarta. Ada juga kawasan di Jakarta dimana hanya dalam radius 1 km,  ada berbagai rumah ibadah lokasinya berdekatan. Seperti di Kawasan Pasar Baru ada 6 rumah ibadah (Kuil Hare Kresna, Kuil Sai Baba, Mesjid Pasar Baru, Kuil Sikh, Klenteng Sin Tek Bio, dan Gereja Ayam), atau di Cilincing (Klenteng dan Wihara Lalitavistara, Pura Segara, Mesjid Al Alam) atau di kawasan Taman Mini Indonesia Indah yang ada berbagai rumah ibadah dari 6 agama resmi di Indonesia yang letaknya berdekatan sebagai wujud toleransi dan kehidupan kerukunan beragama di Jakarta.

Justru Jakarta menjadi kaya karena begitu beragamnya pengaruh budaya yang membentuknya. Dan memang sudah semestinya seseorang yang mengaku beragama harus mewujudkan ketaatannya dalam beragama dengan mewujudkan toleransi yang tinggi terhadap penganut agama lain. Seperti pernah dikatakan oleh seorang Gus Dur,  “Semakin tinggi ilmu seorang, semakin tinggi tingkat toleransinya.”


Jika tertarik mengunjungi rumah rumah ibadah tersebut, yuk ikutan Wisata Bhineka (Wisata Rumah Ibadah Lintas Agama) yang rutin diadakan Wisata Kreatif Jakarta. Untuk agenda reguler setiap weekend bisa dicek di website www.wisatakreatifjakarta.com , atau follow IG / fanpage @wisatakreatifjakarta

1 comment:

Kerry Schultz said...

i loved reading every bit of this article. this is a clear example of human unity that nothing really seperates us but ourselves. keep osting such informative posts

Baca Juga Yang Satu Ini

Pesta Mandi Bedak , Puncak Perayaan Tahun Baruan Kampung Tugu Yang Tak Kalah Seru Dengan Festival Songkran di Thailand

Tahukah Anda, di ujung utara Jakarta, ada sebuah kawasan yang merupakan kampung Kristen tertua di Jakarta dan juga di Indonesia?  ...