TO BE A BETTER MAN (WOMAN) : SEBUAH RESOLUSI


(image courtesy of : www.fantasticfiction.com / A better Woman by Susan Johnson)

TO BE A BETTER MAN (WOMAN) : SEBUAH RESOLUSI

“Banyak orang mencoba untuk mengubah dunia. Tapi mereka lupa untuk mengubah diri sendiri.” (Leo Tolstoy, Novelis Rusia)

Kira-kira empat tahun lalu, aku pernah diramal oleh dua orang yg berbeda kalo aku akan menikah di usia 26. Begonya…..dulu aku percaya bahwa saat berusia 26 tahun di tahun 2006, aku bakal mengalami peristiwa besar dan mendapat gelar Nyonya (ehmmm…..ehmmm!). Dan ternyata ngedapetin gelar Ny. (nyonyah maksudnya…), nggak segampang ngedapetin gelar Miss Understanding yang selama ini aku sandang :P

Di awal tahun 2006 lalu, salah satu resolusiku adalah mendapatkan Master dan Mister (!). Yup, akhirnya di pertengahan tahun lalu gelar MSi (alias Master of Sinting??) itu berhasil aku raih. I dedicate this for my beloved Mom, in Heaven. And….tahun 2006 telah berlalu! But …aku belum berhasil dapet Mister ! Here I am…still single and negotiable (!). Tapi…..diluar itu, 2006 adalah tahun yang penuh arti buatku. Di tahun ini…lots of wonderful things happenings in my life.

Terus terang , Philips terang terus, eh maksudnya….terus terang sampe 2/3 tahun lalu, aku masih belum tau tujuan hidupku. Hari-hari aku jalani sebagai rutinitas, sometimes I get bored of my life. Sering kali aku gak tau apa tujuan hidupku satu tahun ke depan. Tapi.... aku merasa mulai mendapat titik pencerahan pada hari wisuda di 2/3 tahun 2006. Di hari itu, aku berkali-kali mendapat ucapan lewat sms, yang kira2 intinya adalah: “ Semoga bisa menjadi orang yang berguna”. At that moment, I realized, my life had been extremely tough when I had to work and study both. So I decided not to waste my valuable times. Tiba-tiba aku teringat apa yang dikatakan Almarhum bundaku. Ngedapetin ilmu dari bangku sekolah emang penting. Tapi, ilmu yang didapat dari “sekolah kehidupan” nggak kalah pentingnya.. I got many lessons from the schools already. So, it was about time for me to get many more lessons from the schools of life. Sejak itu aku bertekad untuk lebih banyak “belajar” lagi. Aku bertekad untuk berubah. Bukan B.E.R.U.B.A.H untuk jadi Satria Baja Hitam(!), tapi untuk bikin hidupku lebih berarti.

Aku belajar untuk “membuka” diri terhadap hal-hal baru, lingkungan baru, serta orang-orang baru, bahkan sesuatu yang dahulu nggak pernah aku sentuh. Untungnya, aku juga dipertemukan orang-orang luar biasa yang “mengajarkan” ku melihat perspektif lain dalam melihat hidup dan kehidupan. Melalui berbagai kesempatan, aku bertemu orang-orang muda yang hebat. Mereka bukan public figure, apalagi selebriti. Mereka adalah orang-orang biasa, yang di usia muda dapat mewujudkan impian-impian mereka, dan bahkan bangkit dari keterpurukan hidup. Satu hal yang bikin aku salut, mereka juga mendedikasikan hidup untuk menolong sesama. Mereka adalah pribadi-pribadi yang sangat berbahagia dan menjalani hidup dengan kegairahan. Dari mereka, aku betul-betul belajar banyak hal.

Salah satu hal yang ngebantu mengubah cara pandangku tentang hidup adalah mengenal kawan-kawan ODHA (orang yang hidup dengan HIV) yang dulunya mantan pencandu narkoba. Pernah, suatu kali aku menghadiri sesi testimoni mereka . I was so speechless to hear their inspiring stories. Maya, salah satu dari mereka-seorang perempuan hebat, menutup sesi testimoni dengan berkata :

“Apa tujuan hidup kita?? Tujuan hidup semua orang adalah mati. Tapi kematian seperti apa yang kita mau??? Hampir seperempat abad hidup kami dihabiskan dengan berbuat dosa dan menyakiti orang-orang yang menyayangi kami. Kini saatnya, kami ingin berubah. Menjadi orang yang berguna, berbuat yang terbaik untuk diri sendiri dan orang lain. Kelak saat kami mati nanti, kami ingin dikenang sebagai orang yang baik. “

Daaassshh!!!Kata-kata Maya itu, seperti menohok keras diriku. Di sisi lain, apa yang dikatakan Maya itu serasa es teler 77 yang menyiram dahagaku yang kering kerontang karena kelamaan terdampar di gurun (!). Menjadi orang berguna, yang berbuat terbaik untuk diri sendiri dan orang lain. Dan kalimat itu pula yang mungkin dipanjatkan sebagai doa oleh kedua orang tua saat kita lahir ke dunia ini. Sebuah kalimat yang sangat sederhana, tapi ternyata tidak semudah itu untuk dijalani. Selama ini, sudah banyak sekali waktu yang aku sia-siakan, sudah bergunung-gunung dosa yang aku tumpuk, dan belum lagi tak terhitung banyaknya laki-laki yang ku tolak cintanya...eh, maksudnya orang-orang yang mungkin telah aku sakiti.

Menjadi orang berguna, yang berbuat terbaik untuk diri sendiri dan orang lain. Apakah yang bisa bikin diriku merasa berguna?? Apakah menjadi orang berguna, artinya sekedar menjadikan diriku bermanfaat buat perusahaan dan orang-orang yang membayar gajiku tiap bulan???Rasanya nggak hanya itu.It has to be much more than that!Lalu, gimana bila suatu saat...orang-orang itu udah gak bisa membayarku lagi bahkan gak membutuhkanku lagi ?? Apakah aku masih bisa merasa berguna???

Menjadi orang berguna, yang berbuat terbaik untuk diri sendiri dan orang lain. Kalimat itu juga seperti sebuah tamparan buatku yang menghabiskan seperempat abad dari hidup ini untuk selalu mementingkan diri sendiri, hanya untuk meraih ego pribadi. Aku rasa hal inilah yang bikin hidupku kadang terasa hampa. Aku emang harus berubah, karena aku ingin hidup ini menjadi lebih berarti. Aku gak mau, lima tahun dari sekarang...masa aku cuma akan mengingat hari ini sebagai masa-masa yg hanya kuhabiskan untuk berburu berlian dan berburu para pejantan tambun...:)

Little by little, I started to change. Then…when I started to think about others, not only for my self, amazingly… I found my life running smoothly. Dan…1/3 dari tahun lalu aku merasakan keajaiban yang datang satu persatu, dan membuat hidup menjadi lebih berarti.Kejaiban-keajaiban yang aku dapet emang gak selalu berwujud material, but they’re absolutely cannot be compared with money !! Rasanya benar sekali apa yang dikatakan Hellen Keller, seorang tokoh pendidik :"Jangan tanyakan kapan, tapi keajaiban akan datang menghampiri, apabila kita berbuat yang terbaik untuk diri sendiri dan orang lain."

2006 indeed was an amazing year for me. Di tahun itu, aku emang belum menemukan pasangan hidup, seperti yang dikatakan ramalan-ramalan gokil itu (!). Tapi di tahun 2006, aku merasa menemukan tujuan dan arti hidup yang sesungguhnya.

Now… here I am, in the beginning of 2007.What are my resolutions for this year?? Gak banyak yang aku pingin koq. Aku gak bercita-cita mengubah dunia, menciptakan perdamaian dunia , apalagi menegakkan demokrasi di bumi ini (please deh....cukup sudah seorang George Bush saja yang punya cita-cita ketinggian kayak gitu.......mbok ya hal itu kejauhan banget buat seorang dara jelita nan mungil yang suka ngupil sambil ngemil ini). Jadi, aku cuma ingin belajar menjadi pribadi yang lebih baik, dan syukur2 bisa berguna buat orang lain. Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang sahabat, menjadi orang yang berguna untuk orang lain, bisa menjadikan kita pribadi yang bahagia, dan bergairah menjalani hidup. Well…kita emang gak bisa mengubah dunia ini koq, kecuali kita memulainya dari hal kecil, yaitu diri sendiri.

Terakhir…. di tahun 2007… Aku pingin mendapatkan Mister (teteup!!) , terutama yang kayak Tora Sudiro getu deeh. Yuuukzzzz !!!!! Ngimpe kali yee boooo

Menjadi RELAWAN : A Spiritual Journey


* Tulisan ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia (20 Apr 07), dlm Rubrik Jelajahi Pikiranmu.

Menjadi RELAWAN : A Spiritual Journey

Volunteerism is about let your self happily serving others. Volunteerism is about let your self happily exploring yourself. And above all that, volunteerism is about let your self searching the truth of happiness in you.


Belakangan kayaknya kita “dibombardir” rentetan berita buruk dari berbagai media massa. Ditambah lagi ….. orang “berlomba-lomba” mengkritik dan saling menyalahkan. ABCDEF. Aduh Booo…..Cape Deyyyy…Eikee Fusyiing!!! Koq…..seakan-akan bangsa ini gak berenti2 dirundung kemalangan :( TANYA KENAPA???

Berita buruk dan segala macam kritik adalah “makanan” aku sehari-hari. Di lingkungan dunia pemberitaan yang bergelut dengan rating, tempatku mengais-ngais intan dan berlian, aku udah "kenyang" dikondisikan untuk mencari segala kekurangan dan kelemahan dari sebuah peristiwa atau juga orang lain. Well…bad news is always a good news, what can I say!


I love my job, I love what I’m doing.Tapi, sebenernya lingkungan seperti ini sangat memungkinkan aku untuk menjadi pribadi yang juga "negatif", kalo saja aku gak bisa “menyiasatinya”. Untungnya, aku masih “diselamatkan” oleh orang-orang luar biasa, yang selalu “menyadarkan” , bahwa bertindak dan berbuat sesuatu adalah jauh lebih berarti daripada sekedar mengkritik.

Dan…… , aku percaya koq masih banyak janda-janda di negri ini…..eh salah, maksudnya masih banyak kabar baik di negri ini yang bisa menjadi berita gembira. Walaupun ujan batu di negri orang…ujan emas di negri sendiri(!), aku (tetap) bangga jadi orang Indonesia loooh :p

Hal inilah yang bikin aku, di akhir Desember lalu, untuk “lari” dari rutinitas dan ikut kegiatan Coast 2 Coast Project, sebuah kegiatan relawan pemuda internasional di Banda Aceh selama satu minggu.Sudah sekian lama, aku selalu mendengar berbagai hal yang negatif tentang tempat ini. Bahkan setelah dua tahun berlalu sejak tsunami pun, kabar-kabar buruk mengenai Aceh selalu mendominasi, baik yang dimuat di berbagai media ataupun melalui kabar-kabur yang tersiar oleh burung.

Selama menjadi relawan di Aceh, setidaknya aku bisa mendapatkan “kabar-kabar gembira” disana. Aku melihat udah banyak upaya yang dilakukan berbagai pihak (asing) untuk ikut membangun Aceh pasca Tsunami. Dari ekspedisi di Aceh selama satu minggu, ada satu kesan mendalam yang aku rasakan. Aceh yang puluhan tahun “tertutup” dari dunia luar , kini bagaikan gerbang terbuka yang “dibanjiri” bantuan dari berbagai penjuru bumi.

By the way, busway, subway, bajay ….menjadi relawan selama satu minggu di Aceh “membuka” mataku terhadap sisi lain Aceh yang selama ini gak pernah aku tahu. Kabar-kabar inilah yang berusaha aku sebarkan untuk orang-orang, sekembalinya aku di kota metropolitan yang sumpek ini. Namun, beberapa kawan mencoba mengingatkan, bahwa apa yang aku lihat di Aceh itu baru “permukaan ”, karena masih sangat banyak masalah disana. Ya memang, ada banyak “kabar gembira” yang aku dapatkan ketika disana, yang selama ini gak terekspos media. Tapi sebenernya “kabar sedih” dan “cerita-cerita kelam” tentang Aceh yang aku dapatkan langsung selama disana juga gak kalah banyaknya. But then… It is no longer my part to spread such stories. Many people have already played that role in that part.


Hal-hal “baik” yang berhasil aku temukan di Aceh, mungkin memang hanya “permukaan” saja. Apa yang aku dan teman-teman relawan lakukan mungkin hanya sekecil upil, dan gak akan merubah banyak hal disana. Tapi....perjalanan di Aceh memberi dampak yang luar biasa untuk diriku pribadi. Menyaksikan mereka - Para relawan, yang dengan senang hati datang jauh-jauh dari negaranya, dengan biaya sendiri (dan bahkan mengorbankan masa liburan panjang natal dan tahun baru), untuk membantu masyarakat Aceh, membuat aku merasa malu terhadap diri sendiri, yang kurang mempunyai rasa kepedulian dengan bangsa sendiri. Belum lagi, melihat masyarakat Aceh, terutama anak-anak, yang tegar menjalani hidup setelah dirundung bencana bertubi-tubi, membuat aku harus berkaca dengan diri sendiri. Terus terang, dari mereka semua aku mendapat sangat banyak pelajaran tentang hidup. Sementara selama ini, banyak hal-hal "penting gak penting" yang selalu aku keluhkan. Macetnya jakarta yang bikin aku ngerasa jadi tua di jalan....Susahnya bikin badanku jadi semok (sexy dan montok??), Berkali-kali gagal ngedapetin Mr. Right (and Mr Happy ??? :p ), Kurang ini...kurang itu...Pokoknya...ada aja hal yang terasa kurang.

Perjalanan ke Aceh, kurasakan lebih sebagai sebuah perjalanan spiritual, dan ini mungkin menjadi pengalaman yang tak akan terlupakan. Telah banyak negara aku kunjungi, dengan fasilitas yang cukup mewah pula, dengan membawa suatu "predikat" tertentu. Perjalanan-perjalanan itu memang ngebantuku untuk lebih menghargai negri sendiri. Tapi ajaibnya, perjalanan ke Aceh, di negriku sendiri, dengan menjadi relawan, tanpa membawa embel-embel "predikat" apapun, malah berhasil ngebantu aku untuk lebih menghargai hidup dan kehidupan.

Above all that....Being volunteer has brought me to encounter myself into a new path of life. I should apply the term of volunteerism into every single thing in life. Menjadi relawan adalah merelakan diri secara SUKACITA untuk berbuat sesuatu, lebih dari sekedar berbicara. Menjadi relawan adalah “merelakan” diri secara SUKACITA untuk berbuat yang terbaik untuk diri sendiri dan orang lain. Dan menjadi relawan adalah "menggali" segala rasa SUKACITA yang terpendam dalam diri sendiri.
- Des 06-

Baca Juga Yang Satu Ini

Pesta Mandi Bedak , Puncak Perayaan Tahun Baruan Kampung Tugu Yang Tak Kalah Seru Dengan Festival Songkran di Thailand

Tahukah Anda, di ujung utara Jakarta, ada sebuah kawasan yang merupakan kampung Kristen tertua di Jakarta dan juga di Indonesia?  ...