Wrong Address : SLAHA ALATAM
Benarkah kita (TIDAK) terbiasa mencerna informasi secara baik????
Aku pernah mengikuti sebuah kegiatan bersama pemuda-pemudi Singapura selama dua minggu. Salah satu “aturan” yang ada di buku panduan mereka adalah anjuran untuk tidak mudah menghakimi (Don’t Be Judgemental), atas apapun. Ternyata mereka benar-benar menerapkan “aturan” ini dalam kesehariannya, dengan cara membiasakan diri untuk mencerna informasi dengan baik. Mungkin budaya seperti ini bisa membuat Singapura menjadi negara maju.
Bagaimana dengan kita?? Apakah kita sudah terbiasa mencerna informasi dengan baik??
Contoh Satu (hal kecil, sering terjadi):
Di sebuah milis yang beranggotakan para professional, seorang teman, sebut saja si CANTIK pernah mem-forward email tentang informasi lowongan pekerjaan (loker). Di email tsb, si CANTIK sudah memberikan informasi lengkap tentang kriteria loker dan juga alamat email HRD kantor bersangkutan.
Esoknya si CANTIK mengirim email klarifikasi, yang memberitahukan bahwa ia bukan bagian HRD, dan ia juga tak tahu menahu tentang proses rekrutmen (wajar saja, karena ia toh cuma mem-forward email). Klarifikasi ini dia buat karena setelah mem-forward info loker tersebut, inbox dia dipenuhi email-email yang menanyakan prosedur rektrumen tentang loker tersebut. CANTIK juga kewalahan menerima surat lamaran yang ditujukan ke emailnya, bukannya malah langsung ditujukan ke alamat email HRD yang bersangkutan.
Contoh Dua (hal besar, Selalu terjadi) :
Dalam kehidupan kantor ataupun komunitas pergaulan, seringkali kita mendapati ada saja pendapat yang mendiskreditkan nama seseorang, Anggapan seperti: Si Fulan itu orangnya begini…loh…, Si Fulanwati orangnya begitu loh……, biasanya berkembang dari mulut ke mulut, sehingga kita pun bisa ikut termakan gosip. Akibatnya, kita pun langsung mempunyai prasangka macam-macam. Dan pikiran kita pun terlanjur dipenuhi asumsi-asumsi negatif.
Menurut bosku di kantor, hal seperti ini akan membuat kita antipati dan menutup diri dengan orang-orang yang digosipkan itu, padahal informasi yang kita terima belum tentu benar. Aku belajar banyak tentang hal ini darinya. Semula aku mengira ia adalah orang yang sangat cuek, sampai aku mengerti bahwa ternyata ia adalah pemimpin yang bijaksana. Karena itu ia sangat berhati-hati berkomentar tentang orang-orang di kantor. Suatu saat ia pernah berkata :
“ Omongan dari mulut ke mulut, apalagi kalau isinya jelek, efeknya dahsyat sekali. Apalagi kalau yang ngomong itu orang yang punya pengaruh. Kita bisa terpengaruh informasi yang belum tentu benar, hanya dari satu pihak. Belum apa-apa, kita udah antipati duluan dan menutup diri dengan orang yang digosipkan. Padahal bisa saja orang itu malah bisa banyak ngebantu kita ...”
Media Massa : Apa yang Kita lihat dan Kita dengar pun (tak) selalu benar
Masih ingat simpang siur berita tentang lokasi penemuan Adam Air, tak lama setelah pesawat itu dinyatakan hilang??? Simpang siur berita ini jelas-jelas terjadi karena pihak Media kurang check, re-check, dan verifikasi, sebelum menurunkan beritanya. Tapi berita terlanjur tersebar luas, dan masyarakat pun jadi korban kesimpangsiuran ini. Dan Media Massa terlalu perkasa dan sulit untuk ditaklukan.
Media Massa juga seringkali menurunkan berbagai kisruh antara Tokoh A vs Tokoh B, Kelompok INI vs Kelompok ITU, dan sebagainya. Hal seperti ini bisa jadi komoditi bagus untuk diturunkan sebagai headline. Biasanya, kita pun akan segera responsif untuk berkomentar ini itu, dengan diiringi dengan segala protes, atau bahkan makian. Padahal belum tentu kisruh yang diberitakan tak seheboh yang kita lihat atau kita dengar. Jenis media INI, bisa saja isinya berbeda dengan jenis media ITU.
Sebagai bagian dari orang Media, aku tak berhak menilai, mana yang benar dan mana yang salah. Hanya saja, mungkin kita perlu membanding-bandingkan berbagai informasi yang masuk, sebelum terburu-buru meresponnya. Media Massa memang membantu untuk membuka wawasan kita, namun seharusnya diingat bahwa Media Massa bukan satu-satunya sarana untuk mendapatkan informasi. Sayangnya kita terlanjur memperlakukan Media Massa sebagai DEWA, dan menyakini segala informasi di dalamnya adalah satu-satunya kebenaran.
Rasanya masih perlu puluhan tahun agar kita benar-benar “Melek Informasi dan Melek Media”, Jadi nggak sedikit-sedikit dibikin panas karena sebuah informasi. Di negara-negara maju, Information Literacy dan Media Literacy sudah ditanamkan sejak pendidikan dasar, hingga masyarakatnya terbiasa untuk mencerna dengan baik informasi yang didapat. Mencerna informasi dengan baik berarti mengumpulkan, menyeleksi, mengidentifikasi dan mengevaluasi informasi , bahkan membandingkannya dengan informasi lain, sebelum memutuskan untuk Memberi respon. Kawanku si orang singapura itu mengistilahkan : Jangan Langsung percaya begitu aja dong...
Mungkin kita akan menjadi bangsa yang suka menghakimi (judgemental), kalau kita tidak terbiasa mencerna informasi yang masuk secara baik. Dalam skala lebih besar, sifat judgemental seperti ini, juga bisa menggiring kita untuk merasa paling benar sendiri, dan tak berusaha untuk belajar memahami hal-hal diluar yang kita yakini. Padahal kebenaran bukan milik monopoli, dan keyakinan bukan untuk untuk dihakimi.
Bagaimana dengan orang Indonesia? Benarkah kita (tidak) terbiasa mencerna informasi dengan baik??
Kayaknya kita lebih terbiasa untuk terburu-buru merespon suatu hal, tanpa berpikir panjang lebih dahulu. Istilahnya ; Yang penting ngomong dulu. Masalah benar atau nggak, itu urusan belakangan.
Lalu, salah siapakah budaya seperti ini??? Entahlah, aku pun tak tahu. Tanyalah pada rumput yang bergoyang.