INFOTAINMENT : (Tak) Melulu berisi gosip??




INFOTAINMENT : (Tak) melulu berisi gosip? *

Infotainment disuka banyak orang, walau sering pula dihujat. Apakah selama masyarakat masih senang bergosip, infotainment akan tetap bertahan di televisi kita?

Imej acara gosip memang terlanjur melekat pada tayangan Infotainment. NU sampai perlu mengeluarkan fatwa haram terhadap isi/ content (bukan product secara keseluruhan) infotainment yang bersifat ghibah dan membuka aib orang. Walaupun fatwa akhirnya juga ditujukan kepada seluruh media, namun infotainment ternyata lebih banyak disorot para kritisi.

Sampai saat ini, kritik tajam masih terus dilontarkan terhadap infotainment yang sering dinilai sebagai tayangan murahan dan tak berguna. Ariel Heryanto di harian KOMPAS pada kolom Asal Usul (20/9/06), bahkan menganggap para penggemar infotainment tidak tertarik pada acara yang lebih “cerdas” atau “berbudaya”. Ia “mensejajarkan” para penggemar tayangan ini dengan penabur ranjau paku di jalan-jalan umum di ibu kota.

Saya pun sempat memandang infotainment dengan sebelah mata, hingga akhirnya harus terjun langsung sebagai wartawan infotainment. Setidaknya pengalaman satu tahun berjibaku dengan dunia infotainment, cukup untuk ’membukakan’ sebelah mata saya akan jenis tayangan yang namanya secara terminologi masih diperdebatkan ini.

Infotainment : (Tak) Melulu gosip?
Isu selingkuh, kawin cerai, hingga perseteruan hubungan keluarga memang kerap menghiasi layar infotainment. Persoalan yang dianggap aib keluarga ini, memang acap kali diobok-obok sedemikian rupa hingga menjadi heboh. Di satu sisi, berita selingkuh, cerai, dan hal-hal bombastis lain yang menghiasi infotainment memang dapat menghasilkan rating tinggi. Namun di sisi lain, berita-berita itu ’menguntungkan’ selebritas yang menjadi obyek. Sangat banyak selebritas yang namanya belum terlalu tenar, ataupun yang popularitasnya menurun, mengalami kenaikan pamor karena menjadi bulan-bulanan infotainment. Setelah kasus reda, mereka semakin laku di berbagai acara di televisi, bahkan menjadi bintang iklan. Apabila tidak hati-hati, paradoks Bad News is a Good News seperti ini bisa menjadikan infotainment sebagai ”alat” oleh siapapun.

Di luar hal itu, Infotainment ternyata tak melulu berisikan berita negatif. Berbagai kiprah para public figure di jagad hiburan ( album/ film/sinetron baru, gelar konser/berbagai prestasi dan penghargaan), luar jagad hiburan (aktivitas sosial, aktivitas rohani), hingga hal-hal yang terlihat remeh temeh (ulang tahun, pacaran, menikah,dan sebagainya) sering wara wiri disana. Infotainment bahkan bisa mengangkat berbagai kalangan seperti olahragawan, akademisi, politisi, ustadz, penulis, pengacara, hingga paranormal menjadi seleb. Jenis tayangan yang isinya amat sangat campur aduk seperti ini belum ada pada televisi di negara-negara Asia, bahkan pada saluran E-Channel.

Apabila diamati secara proposional, tanpa embel embel preseden buruk, infotainment memiliki banyak sisi positif yang bermanfaat bagi publik, terutama untuk menyampaikan informasi bersifat updating. Infotainment cukup tanggap dalam merespon peristiwa yang menjadi isu nasional seperti wabah flu burung, kenaikan BBM, pro kontra hasil Ujian Nasional, bencana gempa, dan sebagainya. Untuk itu, layar infotainment menghadirkan wawancara selebritas yang terkait langsung dengan peristiwa tersebut dengan dilengkapi pendapat para ahli dan pakar yang berkompeten.

Bahkan kemunculan selebritas yang terkait kasus kriminal (baik sebagai pelaku ataupun korban) di infotainment, dapat memperingatkan masyarakat untuk waspada. Artis Ulfa Dwiyanti yang jadi korban penipuan undian yang dilakukan seorang oknum pegawai hypermarket ternama, adalah salah satu contoh. Kalau diperhatikan tayangan khusus berita kriminal pun saat ini mengalami kecenderungan untuk mengekor infotainment, dengan mengangkat kisah-kisah para artis yang pernah terlibat kasus kriminal.
Disadari atau tidak, Infotainment dapat dijadikan sarana sosialisasi dan edukasi. Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan kalangan pelajar/ mahasiswa, karyawan, ibu-ibu rumah tangga, pekerja rumah tangga, bahkan para pedagang di pasar, saya mendapat informasi bahwa mereka mengaku infotainment membuat mereka ngeh dengan keberadaan UU Anti KDRT, RUU Anti Pornografi & Pornoaksi yang kontroversial, atau UU Kewarganegaraan yang baru direvisi. Padahal kita tahu, di Indonesia ini UU/ RUU dalam apapun bentuknya kurang tersosialisasi dengan baik di berbagai lapisan masyarakat .

Para selebritas lokal yang menjadi duta-duta juga cuma bisa didapati di layar infotainment. Kegiatan seorang artis ABG seperti Marshanda sebagai duta lingkungan hidup, atau Ferry Salim sebagai duta UNICEF di Indonesia mungkin tak memiliki news value di program berita sekelas Liputan 6 atau Seputar Indonesia. Berbagai kampanye yang dilakukan celebrity seperti Gerakan anti narkoba dan HIV AIDS rasanya pun cuma bisa dilihat di infotainment. Apa yang dilakukan para selebritas tersebut, mungkin tak akan membuat suatu perubahan, namun melalui paparan infotainment, setidaknya dapat meningkatkan kesadaran para pemirsa akan berbagai wacana. Organisasi sebesar PBB saja mengangkat Artis Hollywood Angellina Jollie sebagai duta UNHCR. Dalam proses komunikasi, Celebrity Endorsement seperti ini dapat ’membumikan’ pesan yang ingin disampaikan.

Sudah umum diketahui, minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah, karenanya televisi lebih diandalkan sebagai media pemberi informasi. Effendi Gazali di harian KOMPAS (12/08/06), mengatakan untuk mendapatkan informasi bersifat updating di televisi, tidak semua orang menyukai acara parodi politik. Namun, perlu dicatat pula, dalam kondisi masyarakat indonesia yang sangat majemuk dan tingkat media literacy yang dinilai rendah, tidak semua orang menyukai berita formal, dialog ataupun talkshow untuk mendapatkan informasi yang updating. Saat ini, infotainment yang memiliki. kekuatan pada audio visual bisa dijadikan pilihan. Setidaknya sebagai salah satu strategi marketing, packaging infotainment yang dihiasi wajah-wajah ”bening” para selebritas/ presenter yang eye catchy serta iringan ilustrasi musik yang ear catchy, membuat perhatian pemirsa lebih nyantol.

Infotainment: Sampai kapan terus bertahan?
Walau banyak berisi hal positif, infotainment memang lebih dikenal dengan isi yang berbau negatif seperti cerai, selingkuh, serta pengungkapan aib. Hal ini seakan-akan menjadi akar kejahatan (root of evil) yang selalu ditimpakan kepada infotainment.

Hal ini bagai nila setitik yang merusak susu sebelanga. Bahkan, ekses negatif ini juga menimpa para pengelola dan pencari berita infotainment. PWI memang sudah mengakui keabsahan para wartawan infotainment, namun kenyataanya berbagai media masih menyebut mereka sebagai pekerja (=bukan wartawan).

Perlu dicatat bahwa saat ini infotainment sudah banyak diproduksi langsung oleh News Departement di Stasiun-stasiun Televisi. Dengan begitu keabsahan ‘status’ wartawan bagi para pencari beritanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun sekalipun infotainment diproduksi oleh Production House, banyak pencari berita yang bekerja sesuai kode etik jurnalistik. Terlalu naif rasanya bila menilai status kewartawanan hanya dari institusi yang menaunginya. Toh saat ini di berbagai belahan dunia, keberadaan Citizen Reporter dan Jurnalisme orang biasa semakin diakui. Apabila yang dipermasalahkan adalah cara kerja pencari berita infotainment yang dinilai tak sesuai koridor jurnalistik (seperti memaksa narasumber untuk berbicara), semestinya penilaian tersebut tidak disamaratakan kepada yang lainnya. Wartawan politik, wartawan kriminal, dan lainnya pun mungkin pernah berbuat kesalahan seperti itu. Di luar semua itu, hendaknya jangan dilupakan bahwa banyak orang-orang yang bekerja berdasarkan koridor jurnalistik yang benar dalam menghasilkan sebuah infotainment.

Lalu, apakah koridor dan kode etik jurnalistik saja sudah cukup? Satu hal yang harus selalu diingat adalah tanggung jawab moral terhadap publik. Seandainya harus memberitakan berita perceraian pun, tak perlu diobok-obok dengan membeberkan kelainan seksual, pelet ”celana dalam”, atau aib seputar tempat tidur. Wartawan dan pengelola infotainment dapat saja berdalih hal-hal tersebut adalah fakta, namun hal-hal ini tak layak untuk diungkap kepada publik.

Sebagai tayangan informatif yang ’menguntungkan’ (biaya produksi relatif rendah, rating tinggi, pemasukan iklan banyak), infotainment yang merupakan perpaduan karya jurnalistik dan artistik, idealnya juga bisa menjadi tontonan yang ”berkelas” . Jangan sampai infotainment terus dinilai sekadar ”tempat” untuk bercerai seperti selorohan .......Bersatu kita teguh, Bercerai kita di Infotainment!

24 Agustus 06
* Sekadar Catatan kecil dari seorang yang pernah jadi wartawan infotainment.



Baca Juga Yang Satu Ini

Pesta Mandi Bedak , Puncak Perayaan Tahun Baruan Kampung Tugu Yang Tak Kalah Seru Dengan Festival Songkran di Thailand

Tahukah Anda, di ujung utara Jakarta, ada sebuah kawasan yang merupakan kampung Kristen tertua di Jakarta dan juga di Indonesia?  ...